Sabtu, 06 November 2010

WACANA DITINJAU DARI SITUASI TUTUR, TINDAK TUTUR, TUTURAN PERFORMATIF DAN KONSTATIF SERTA JENIS-JENIS TINDAK TUTUR



WACANA DITINJAU DARI SITUASI TUTUR,
TINDAK TUTUR, TUTURAN PERFORMATIF DAN KONSTATIF
SERTA JENIS-JENIS TINDAK TUTUR
Oleh
Dessy Wardiah

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kajian wacana sebetulnya telah lama dimulai berabad-abad yang lalu dengan nama “seni berbicara atau retorika”. Bidang kajian ini mencapai kejayaannya pada abad pertengahan. Pada abad-abad selanjutnya, bidang kajian ini telah memudar dari perhatian orang terutama pada awal abad XX. Pada awal itu, orang memusatkan perhatiannya pada analisis kalimat atau unsur-unsur yang lebih kecil. Kalimat dipandang sentral dan otonom sehingga analisisnya terlepas dari konteks. Kajian wacana mencapai perkembangan dalam menentukan bentuk dan arah sekitar awal tahun 1970-an.
Berbicara mengenai wacana khususnya wacana lisan akan sangat erat kaitannya dengan pragmatik. Seperti kita ketahui dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif.
Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik, pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur yang terjadi di masyarakat, baik tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, tindak tutur langsung dan tidak langsung, maupun tindak tutur harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih tindak tutur tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Karena itu pada makalah ini kami akan membahasnya, namun kami batasi hanya mengenai situasi tutur, tindak tutur, tuturan performatif dan konstatif, serta jenis-jenis tindak tutur.
1.2 Masalah
Masalah yang diangkat pada makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan situasi tutur?
2. Apakah yang dimaksud dengan tindak tutur?
3. Apakah yang dimaksud dengan tuturan performatif dan konstatif?
4. Jelaskan mengenai jenis-jenis tindak tutur?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai:
1. Situasi Tutur
2. Tindak Tutur
3. Tuturan Performatif dan Konstatif
4. Jenis-Jenis Tindak Tutur


2. PEMBAHASAN
2.1 Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61). Jadi interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau di kereta api yang terjadi di antara penumpang yang tidak saling kenal, pada mulanya dengan topik yang tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat juga disebut dengan sebuah peristiwa tutur?, secara sosiolingiustik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur sebab pokok percakapannya tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti.
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, atau seperti dikatakan Dell Hymes (dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim “Speaking”. Kedelapan komponen itu adalah sebagai berikut.
S (setting and Scene)
P (participants)
E (ends: purpose and goal)
A (Act sequences)
K (key: tone or spirit of act)
I ( instrumentalities)
N (norms of interaction and interpretation)
G (genres)
Setting and scene. Disini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda juga. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Dilapangan sepak bola kita bisa berbicara dengan keras tapi di ruang perpustakaan harus bicara seperlahan mungkin.
Participan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah masjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status social partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.
End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran . Bentuk ujaran dan isi ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan , seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialeg ragam atau register.
Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
Dari uraian yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
2.2 Tindak Tutur
Tindak Ujaran merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa (Djajasudarma,1994: 63). Bahasa digunakan pada hampir semua aktivitas. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi (permohonan informasi, memerintah, mengajukan, permohonan, mengingatkan, bertaruh, menasehati, dan sebagainya). Kemudian tindak tutur (istilah kridalaksana penuturan atau speech act, speech event) adalah pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana,1984: 154). Chaer (1995: 65), menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikolinguistik dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam mengahdapi situasi tertentu.
Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai).
Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (dalam Wijana,1996: 17). Mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
2.2.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something.
Contoh: Ikan paus adalah binatang menyusui
Kalimat diatas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakannya adalah termasuk jenis binatang apa paus itu.
Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/ topik dan predikat/ coment (Nababan dalam Wijana, 1996:18). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relative paling mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.
2.2.2 Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur ilokusi. Tidak ilokusi disebut juga The Act of Doing Something.
Contoh: Rambutmu sudah panjang
Kalimat diatas bila diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacarya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintahkan anak atau suami tersebut untuk memotong rambutnya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
2.2.3 Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocituonary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut The Act of Affecting Someone.
Contoh: Kemarin saya sangat sibuk
Kalimat diatas bila diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusinya (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.
2.3 Tuturan Performatif dan Konstatif
2.3.1 Tuturan Performatif
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu (perform the action).
Tuturan performatif tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) Geoffrey Leech (dalam Chaer, 1995: 280).
Contoh lain:
1. Saya berterima kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the act of thanking)
2. Saya mohon maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act of apologizing).
3. Saya namakan anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of naming).
4. Saya bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of betting).
5. Saya nyatakan Anda berdusa suami-isteri. (Tindakan menyatakan/menikahkan: the act of marrying).
6. Saya serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan menyerahkan: the act of bequeting).
7. Saya akan pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).
Adapun Ciri-ciri tindakan performatif, yaitu:
1. Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
2. Tindakan sedang/akan dilakukan.
Syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity condition), antara lain, adalah:
1. Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok. Contoh: Saya nyatakan Anda berdua suami-isteri.
Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama, tempatnya di KUA, Gereja, Pura, Masjid, objeknya 2 orang (berdua).
2. Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur.
Contoh: Saya mohon maaf atas kesalahan saya.
Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki mitra tutur-nya.
Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle (dalam Wijana, 1996: 26-27) sebagai berikut.
1. Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya.
Contoh: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
2. Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Sesuk kowe tak-tukokke sepur (yakin tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
3. Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan.
contoh: Saya berjanji akan setia.
4. Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat waktu.
5. Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Misalnya: Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora ndadekake renaning penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak valid (infelicition).
2.3.2 Tuturan Konstatif
Tuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative utterance), tuturan yang digunakan untuk menggambarkan atau memeriakan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya. Dan sifatnya betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984: 201). Austin (dalam Wijana,1996: 27), menyatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar dan salah.
Contoh: Ali pergi ke Jakarta
Saya tidur di hotel
2.4 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Menurut Djajasudarma (1994: 64), tindak ujar/tutur dapat diklasifikasikan ke dalam tindak tutur langsung (direct speech acts) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech acts). Tindak tutur langsung menunjukkan fungsinya dalam keadaan (tindakan) langsung dan literal (penuturan sesuai dengan kenyataan), sedangkan tindak tutur tidak langsung biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang implisit.
2.4.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita ( deklaratif), kalimat Tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi), kalimat Tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (direct speech act).
Contoh: Sidin memiliki lima ekor kucing
Di manakah letak pulau Bali?
Ambilkan baju saya!
Disamping itu untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat Tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuklah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).
Contoh: Ada makanan di lemari
Dimana sapunya?
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya.
2.4.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Berdasarkan keliteralannya, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidak literal. Tindak tutur literal adalah tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya; Buka mulutnya! (makna lugas: buka). Tindak tidak literal adalah tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan. Misalnya; Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Dalam bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter [bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).
2.4.3 Interaksi Berbagai Jenis Tindak Tutur
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan (diinteraksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur-tindak tutur berikut ini:
1. Tindak tutur langsung literal
2. Tindak tutur tidak langsung literal
3. Tindak tutur langsung tidak literal
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
2.4.3.1 Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan dengan kalimat Tanya, dan sebagainya.
Contoh: (a) Orang itu sangat pandai.
(b) Buka mulutmu!
(c) Jam berapa sekarang?
Tuturan (a), (b), dan (c) merupakan tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan bicara membuka mulut, dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan dengan kalimat berita (a), maksud memerintah dengan kalimat perintah (b), dan maksud bertanya dengan kalimat Tanya (c).
2.4.3.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speevh act). Adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penuturnya. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh: (a) Lantainya kotor.
(b) Di mana handuknya?
Dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya pada kalimat (a), tuturan ini tidak hanya informasi tetapi juga terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita. Demikian pula dalam konteks suami bertutur dengan istrinya pada kalimat (b) maksud memerintah untuk mengambilkan handuk diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat Tanya.
2.4.3.3 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita.
Contoh: (a) Suaramu bagus, kok.
(b) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!
Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam (a) memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara itu dengan kalimat (b) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini adalah anaknya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan. Kalimat (a) dan (b), menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang penting, tetapi bagaimana cara mengatakannya.
Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat Tanya tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
2.4.3.4.Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
Contoh: (a) Lantainya bersih sekali.
(b) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran.
(c) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kau dengar?
Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakan kalimat (a). Demikian pula untuk menyuruh seorang teman mematikan atau mengecilkan volume radionya, penutur dapat mengutarakannya dengan kalimat berita (b) dan kalimat Tanya (c).
3. KESIMPULAN
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dell Hymes (dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim “Speaking”. Kedelapan komponen itu adalah S (setting and Scene), P (participants), E (ends: purpose and goal), A (Act sequences), K (key: tone or spirit of act), I ( instrumentalities), N (norms of interaction and interpretation), G (genres).
Tindak tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai). secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga. sedangkanTuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative utterance), tuturan yang digunakan untuk menggambarkan atau memeriakan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya, dan sifatnya betul atau tidak betul.
Tindak tutur dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atau dibedakan menjadi; (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal, (4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur langsung literal, (6) tindak tutur langsung tidak literan, (7) tindak tutur tidak langsung literal, dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi Bahsa dan Sikap Bahasa. Bandung: Ganaco.
Martutik dan Bustanul Arifin. 2004. Analisis Wacana. Malang: Bayu Media Publishing.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV. Yrama Widya.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar